For Our Reflections ...
Ketika Tuhan Menciptakan Seorang Ibu
Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya.
Kini
giliran diciptakan para ibu.
Seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut:
“Tuhan, banyak nian waktu yg Tuhan habiskan untuk
menciptakan ibu ini?”
Tuhan menjawab pelan: “Tidakkah kau lihat perincian
yang harus dikerjakan?
Ibu ini harus waterproof (tahan air / cuci) tapi bukan
dari plastik.
Harus terdiri dari 180 bagian yang
lentur, lemas dan tidak cepat capai.
Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya
untuk mencukupi kebutuhan anak anaknya.
Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan
anak anaknya.
Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan
dan menyejukan hati anaknya.
Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah,
dan Enam pasang tangan
Malaikat itu menggeleng gelengkan kepalanya “Enam
pasang tangan…. ?
“Tentu saja Bukan tangan yang merepotkan Saya,
melainkan tangan yang melayani sana sini, mengatur
segalanya menjadi lebih baik….” balas Tuhan.
Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang ibu.
“Bagaimana modelnya?” Malaikat semakin heran.
Tuhan mengangguk angguk. “Sepasang mata yang dapat
menembus pintu yang tertutup rapat dan bertanya: “Apa
yang sedang kau lakukan di dalam situ?”, padahal
sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya.
“Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang
kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa
menoleh. Artinya, ia dapat melihat apa yang sebenarnya
tak boleh ia lihat dan sepasang mata, ketiga untuk
menatap lembut seorang anak yang mengakui
kekeliruannya. Mata itu harus bisa bicara
Mata itu harus berkata: “Saya mengerti dan saya sayang
padamu”. Meskipun tidak diucapkan sepatah kata pun.
“Tuhan”, kata malaikat itu lagi, “Istirahatlah”
“Saya tidak dapat, Saya sudah hampir selesai” Ia harus
bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit. Ia
harus
bisa memberi makan 6 orang dengan satu setengah ons
daging. Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahun mandi
pada saat anak itu tidak ingin mandi….
Akhirnya Malaikat membalik balikkan contoh Ibu dengan
perlahan.
“Terlalu lunak”, katanya memberi komentar
“Tapi kuat”, kata Tuhan bersemangat. “Tak akan kau
bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung,pikul
dan derita.
“Apakah ia dapat berpikir?” tanya malaikat lagi.
“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat
memberi gagasan, ide dan berkompromi”, kata Sang
Pencipta.
Akhirnya Malaikat menyentuh sesuatu dipipi. “Eh, ada
kebocoran disini”
“Itu bukan kebocoran”, kata Tuhan. “Itu adalah air
mata…. air mata kesenangan, air mata kesedihan, air
mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata
kesepian, air mata kebanggaan, airmata….,
airmata….”
(Sumber: www.sarikata.com)
Kehangatan Sentuhan Ibu
Rinai hujan selalu membuat saya terharu. Rintiknya
mengingatkan masa masa yang lalu begitu pula hari sewaktu kecil, saya ingin
sekali mempunyai mantel hujan.Kuning, itu warna yang saya inginkan. Teman teman
saya yang lain telah memilikinya dan mereka tampak gagah dengan mantel itu.
Untuk anak kelas 2 SD, Semua yang berwarna cerah selalu tampak indah. Namun
sayang, Ibu tak punya cukup uang untuk membelinya. Walau sempat kecewa, saya
harus menurut dan menahan keinginan untuk mempunyai mantel kuning itu.
Walau begitu saya tetap kesal dan perasaan itu memuncak.
Ketika saya harus pulang dari sekolah. Hari itu hujan begitu deras. Saya emakin
kecewa dengan ibu. Sebab jika ada mantel tentu saya tidak akan kehujanan dan
dapat bergabung dengan teman teman yang lain. Kesal dan marah begitulah yang
saya rasakan saa itu. Sementara yang lain tertawa dan menikmati hujan, saya
harus berjalan pulang dengan tubuh yang basah kuyup.
Ah… di tengah perjalanan, saya bertemu dengan ibu. Dia tampak
membawakan payung untukku. Karena terlalu marah, saya tidak mau menerima payung
itu dan ngambek. Serta tetap pulang tapa payung. Walau begitu, Ia tampak ingin
melindungi saya dengan payungnya. Mendekap agar saya tidak terlalu basah kuyup
karena hujan. Hujan makin deras dan kami
pun berjalan pulang, walau saya tetap ngambek dan menolak untuk dipayungi.
Sesampainya dirumah, Tingkah itu terus saya perbuat. Saya
tetap menolak untuk berganti pakaian. Akhirnya dengan sedikit hal itu saya
akhiri. Ibu kemudia datang dengan handuk dan langsung menyelimuti saya. Ada
kehangatan yang segera menyergap. Saya menjadi lebih tenang. Namun tetap tak
ada kata kata yang keluar dari ibu selain terus menghangatkan saya dengan
handuk itu. Tangannya terus membersihkan setiap tetes air hujan yang ada di
badan. Disekanya kepala saya agar tidak sakit.
Masih dalam diam ibu kemudian memberikan pakaianganti.
Setelah itu ia masih menyodorkan teh manis. Kehangatan kembali hadir dalam
tubuh. Walau saya mungkin tak mengerti apapun saya yakin ada kehangatan lain
yang diberikan ibu saat itu.
Begitulah ibu mungkin tidak mampu membelikan mantel kuning
seperti yang saya impikan. Namun payungnya membuat saya merasa aman. Ibu
mungkin tak mampu membelikan mantel kuning untuk menghindari hujan, namun
dekapannya membuat saya terhindar dari apapun. Ibu mungkin tidak mampu
membelikan saya mantel kuning itu, namun handuk hangatnya melebihi setiap
kehangatan yang mampu diberikan setiap mantel. Ibu mungkin tidak mampu
membelikan mantel kuning, namun usapan lembutnya adalah segalanya buat saya.
Ibu mungkin tidak menjemput saya dengan mobil atau kendaraan
lain, namun lingkaran tangannya ditubuh saya adalah dekapan paling indah. Ibu
mungkin tidak bisa memberikan susu cokelat, namun teh manisnya lebih berharga
dari apapun. Ibu mungkin tidak bisa memberikan saya banyak hal lain, namun
dekapan, usapan, uluran tangan, perhatian, kasih sayang, sudah cukup sebagai
penggantinya.
Terimakasih Ya Allah kau telah memberikanku sesosok malaikat
yang begitu anggun dan tangguh untuk merawat, membesarkan dan mendidiku selama
ini J
Selamat Ulang tahun Mama J
Terimakasih untuk segalagalanya karena yang telah kau berikan selama ini jauh
melebihi semuanya.