Pages

Rabu, 13 Agustus 2014

Surat diawan

Hai..
Terima kasih sudah membuka surat ini. Asal kau tahu, akumelipatnya dalam keadaan gemetar seiring dengan detakjantung yang terus menghentak dengan keras memompa darahmelalui pembuluh vena dan arteri. Mengantarkan jutaan rasa dan denyut cinta yang aku tuliskan di surat ini ke seluruhtubuh. Dari kepala hingga mata kaki.
Denyut cinta?
Iya… Maaf aku tak pernah melisankannya di hadapanmu. Hanya di surat inilah aku berani menuliskannya.
Karena bagiku, berada dalam jarak sejengkal dan menangkapmatamu dari kejauhan. Bagiku sudah cukup.
Karena bagiku, ketika kaki kita berada di lantai yang sama dankudengar suaramu di antara jedanya. Bagiku itu sudahmembuat hariku berwarna.
Karena bagiku, ketika nafas yang kau hembus, bercampurdengan udara yang akan kuhirup dengan segera. Bagiku itusudah membuatku bernyawa.
Maaf.
4 huruf ini rasanya pantas sampai di matamu. Kata yang berasal juga dari hatiku. Bersandingan dengan rasa yang kurasa untukmu. Karena aku terlalu malu, terlalu pengecut, terlalu mengubur keberanianku. Hingga semua ini hanyaterungkap lewat kata yang tergores dari jemariku, bukan kata yang keluar dari bibirku. Biarlah begitu. Aku hanya mengikutinaluriku, walau andai kau tahu tanganku ingin sekalimemelukmu.
Terima kasih membacanya sesuai dengan permintaanku saat di lobby bandara, kau membuka surat ini kala kau sudah duduk danbersebelahan dengan awan. Asal kau tahu, itulah yang ku rasatiap kali kau memandangku. Aku melayang, menyelip di antaraawan.
Setibanya kau menjejak tanah di kotamu. Jika kau jengahdengan isi suratku. Bisa tolong kau buang saja? Biarlah iamenjadi potongan-potongan yang tersisa diterkam waktu. Dan biarlah rasa ini akan aku kurangi sendiri dengan air darimataku. Tapi, jika kau memperkenankan aku menelusuphatimu. Bisa kau tekan nomorku? Menyalurkan suaramerambati telinga dan jiwaku. Dan dengan segera aku akanmenyusulmu.
Apapun jawabanmu, terima kasih atas putaran jam yang pernah kau bagi bersamaku disini, dan sumpah demi Tuhan, akuberterima kasih padaNya untuk mengenalkanku padamu, lewatkonspirasi alam dan waktu.
Salam dari aku. Pemuja yang bersembunyi dalam rasa malu.
——

Diambil dari buku Sadgenic, berjudul Surat Di Awan dan ditulis oleh Rahne Putri.
 

Jumat, 25 April 2014

Sajak Anak Muda - WS Rendra

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja?
Inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan.
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai,
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa henti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberikan pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengagnguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijasah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja?
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagai bendera-bendera upacara,
sementar hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tata warna
yang ajaib dan tak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara.
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977

Jumat, 14 Februari 2014

Sebuah tanya

kenapa bisa kau tadahkan tangan untuk cinta
jika dulu ia toreh luka pada bunda

SGPS
2016

be a creative generation

Protected by Copyscape Duplicate Content Penalty Protection